Sahabat Baik Saya

This article was originally published in English.
Salam hangat Debriefers,
Perkenalkan sahabat baik saya, yang selalu menemani langkah saya menjelajah dan menaklukkan dunia. Namanya Pinky. Dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari petualangan saya.
Dia yang mendukung kaki saya ketika lelah melangkah. Dia menemani saya berjalan-jalan di mal, menonton film- film produksi Marvel Studios terbaru di bioskop. Dia juga mengantarkan saya sampai ke pintu pesawat, juga menyambut saya di pintu setelah mendarat.
Pinky, ia adalah sebuah kursi roda berwarna merah muda yang dapat disesuaikan dengan penggunanya. Sebelumnya, dia dimiliki oleh seorang gadis kecil siswa Sekolah Dasar di Amerika Serikat. Saya membawa pulang kursi roda ini dari perjalanan internasional pertama saya tahun 2010 lalu. Saya memberinya nama Pinky sesuai dengan warna cerah kerangka besinya.
Artikel ini berkisah tentang bagaimana saya jatuh hati pada Pinky, tentang suka duka menggunakan alat bantu di Indonesia, juga petualangan - petualangan seru yang kami lalui bersama.
Ida Putri merupakan pegiat Disabilitas yang tinggal di Indonesia, ia merupakan co-Founder dari Institut Inklusif Indonesia.
Kinanti Andini merupakan seorang ilustrator dan seniman digital yang juga berasal dari Indonesia.
Artikel ini diterjemahkan oleh Brita Utami.
Tulisan otentik seperti ini dibuat dengan dukungan dari para pembaca.
Awalnya saya menolak memakai kursi roda
Saya adalah seorang perempuan dengan postur mungil. Pertumbuhan tinggi badan saya terhenti pada usia lima tahun. Meskipun begitu, saat ini saya masih mampu berjalan dengan baik, walau hanya dalam jarak pendek.
Bagi saya, kursi roda merupakan barang mahal. Saat membawanya ke mana-mana juga, bukan suatu hal yang mudah. Apalagi saya biasanya bepergian dengan membonceng sepeda motor. Saat membawa kursi roda, berarti saya harus menggunakan mobil. Sesuatu yang bagi saya lebih merepotkan.
Dulu saya khawatir, dengan menggunakan kursi roda, membuat saya terlihat sakit atau lemah. Kekhawatiran saya karena orang dengan kursi roda diasosiasikan dengan masalah Kesehatan. Seorang rekan saya bahkan pernah mengatakan bahwa Penyandang Disabilitas “terikat” pada kursi rodanya dan enggan berjalan lagi.
Pertemuan dengan Pinky dan membawanya pulang
Semua berubah saat saya pergi ke Amerika Serikat untuk mengikuti sebuah pelatihan kepemimpinan pada tahun 2010.
Susan Sygall, CEO dari Mobility International USA (MIUSA), yang menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan tersebut, menyarankan saya untuk mencoba beberapa jenis alat bantu mobilitas. Ia juga memberikan saya kesempatan untuk menentukan alat bantu mana yang paling sesuai untuk saya gunakan. Saya mecoba beberapa mulai dari alat bantu jalan atau walker, kursi roda dengan beragam tipe, hingga kemudian dipertemukan dengan Pinky.
Pengalaman mencoba beragam jenis alat bantu mobilitas, membuka pandangan saya. Saya menyadari pentingnya alat bantu mobilitas ini untuk mempermudah kehidupan. Saya adalah seorang Penyandang Disabilitas yang memiliki kesulitan berjalan jauh, tetapi dengan kursi roda yang sesuai selama di Amerika Serikat saya bahkan bisa ikut dalam sebuah pawai. Kursi roda juga membantu saya mengurangi risiko terjatuh ketika kaki tidak kuat menopang bobot tubuh.
Susan dan tim dari MIUSA meyakinkan saya bahwa kursi roda bukan hanya dibutuhkan ketika kaki tidak bisa menopang tubuh. dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Namun, kursi roda juga dibutuhkan untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap baik.
Pelatihan saya saat itu mempertemukan saya dengan sesama Perempuan Disabilitas dari seluruh dunia. Saya belajar mengenai hak untuk memilih pilihan yang kita miliki.
Saya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan untuk menolak atau menggunakan kursi roda. Saya tidak harus merasa “terikat”, tetapi memiliki kebebasan untuk menentukan kapan saat saya membutuhkan berkursi roda dan kapan ingin berjalan. Dengan keyakinan itu, saya dengan bahagia membawa pulang Pinky ke Indonesia.
Persahabatan panjang kami
Sejak pertama melihat Pinky saya langsung jatuh hati. Warnanya yang pink cerah, sesuai dengan warna favorit saya. Sejak saat itu, saya merasa bahwa kami akan menjadi sahabat baik.
Ukurannya, sangat pas dengan tubuh saya. Pijakan kaki dapat disesuaikan dengan panjang kaki saya, sehingga saya bisa menempatkan telapak kaki dengan nyaman. Pinky mampu mendukung saya mengendalikannya secara mandiri, karena saya bisa mengayuh dengan mudah. Dan jika kamu berkesempatan melihat tampilannya, ia mempunyai rangka material yang kuat. Pinky tampak kokoh sekaligus menawan.
Sebelum memiliki Pinky, saya sering hanya menunggu di mobil, atau di dekat pintu masuk saat saat piknik bersama keluarga. Alih - alih berkeliling tempat perbelanjaan secara mandiri, saya meminta bantuan keluarga atau teman-teman untuk membelikan.
Namun, sejak memiliki Pinky, dunia saya berubah. Kami telah mengalami perjalanan yang tidak terhitung banyaknya. Saya akhirnya bisa berkeliling di pusat perbelanjaan, toko-toko, kebun binatang, pasar dan berbagai tempat menarik lainnya. Kami juga telah banyak bepergian melalui penerbangan bersama, menjelajahi berbagai destinasi.
Kehilangan Pinky
Pada tahun 2016 lalu, saat saya bepergian dari Filipina, tempat saya menempuh studi master, menuju bandara Changi, Singapura.
Biasanya, saat sebelum masuk pesawat saya akan melepas sandaran kursi dan bantalan duduk agar bisa dilipat, lalu menyerahkannya kepada kru maskapai. Sayangnya, kali itu, saat itu saya tidak membawa serta kedua bagian tersebut ke kabin. Staf maskapai juga sudah berjanji akan menyimpannya bersama kerangka kursi roda
Biasanya saat transit saya meminta Pinky untuk ikut diturunkan, tidak langsung sampai ke tujuan akhir. Hal tersebut membantu saya tetap bisa mandiri selama di bandara, karena kursi roda yang disediakan oleh maskapai biasanya tidak bisa dikayuh sendiri. Sehingga saat saya keluar dari pintu pesawat, Pinky sudah menyambut manis di depan pintu.
Saat keluar pesawat saya melihat Pinky di depan pintu tanpa sandaran kursi dan bantalan duduk. Saya meminta kru maskapai untuk memeriksa ulang keberadaan kedua benda tersebut, tetapi mereka tidak dapat menemukannya. Saat itu saya merasa sangat kecewa, bagaimana saya bisa mencari kedua bagian itu? Momen yang mengecewakan, karena kursi roda ini dibuat dengan khusus dan sulit diganti.
Saya marah sampai air mata mulai menetes. Kru maskapai yang berjanji menjaga ternyata tidak bisa menepati janjinya. Mereka menolak untuk mengecek ulang tempat-tempat yang memungkinkan kedua bagian itu terselip. Mereka hanya berucap maaf karena tidak ada lagi yang mereka bisa lakukan. Seolah mereka tampak tidak peduli.
Sesampainya di Jakarta saya masih merasa sangat marah dan kecewa. Saya meluapkan kemarahan saya dengan berdebat dengan staff bandara menggunakan Bahasa Inggris, saya lupa bahwa saya sudah tiba di tanah air.
Saya membuat laporan kehilangan di bandara dan mengirimkan email pada pihak maskapai. Saya juga meminta bantuan beberapa rekan untuk melobi pihak maskapai. Beberapa hari setelahnya, saya mendapat kabar bahwa kedua benda tersebut telah ditemukan dan dikirim ke saya. Dengan penuh suka cita, saya meminta ayah saya mengantar ke bandara dekat rumah untuk mengambil bagian dari Pinky, sahabat tercinta saya.
Kebutuhan alat bantu yang tak terpenuhi
Selama bekerja di dunia advokasi Disabilitas, saya bertemu dengan banyak Penyandang Disabilitas. Saya mengamati penggunaan berbagai jenis alat bantu seperti kursi roda, kruk, tongkat, perangkat seluler adaptif, berdampak pada kehidupan mereka. Alat-alat itu bukan hanya mendukung dalam melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi membuka akses pendidikan, pekerjaan maupun rekreasi. Sayangnya, tidak semua orang beruntung untuk memiliki alat bantu.
Sebuah kajian asesmen cepat alat bantu (rATA) di Indonesia pada tahun 2021 menemukan bahwa dari 1300 responden, 60% di antaranya tidak bisa mengakses alat bantu yang dibutuhkan. Kajian di Indonesia ini menunjukkan bahwa tantangan terbesarnya adalah keterjangkauan.
Pentingnya menjaga martabat
Dalam salah satu kegiatan advokasi, saya pernah membantu seorang ibu yang memiliki anak perempuan dengan kondisi tulang rapuh. Ibu tersebut mengeluhkan anaknya yang sangat pemalu dan enggan bermain bersama dengan teman sebayanya.
Usianya 13 tahun dan dia biasa digendong oleh orangtuanya untuk pergi ke sekolah. Saya menyarankan agar anak itu menggunakan kursi roda. Saya kemudian menghubungkannya dengan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) yang bergerak dalam penyediaan kursi roda. Akhirnya, mendapatkan dua buah kursi roda, satu untuk ditaruh di rumah dan satunya digunakan di sekolah.
Beberapa bulan kemudian, ibunya bercerita bahwa kehidupan sosial si anak jauh lebih baik. Dia mulai suka bermain bersama dengan temannya.
Bagi orangtuanya, menggendong adalah cara membantu anaknya untuk tetap bersekolah. Bagi si anak, digendong kemana-mana membuat kepercayaan dirinya menjadi rendah. Selain itu, dia juga kesulitan untuk bermain bersama teman-temannya. Namun, dengan menggunakan kursi roda, dia bisa bergerak mandiri, mudah berbaur dengan teman-temannya. Teman-temannya tak jarang menawarkan diri untuk mendorong kursi rodanya.
Terlihat di ruang publik
Banyak Penyandang Disabilitas mobilitas yang masih menolak penggunaan kursi roda, seperti saya dulu. Ruang publik dan transportasi di Indonesia masih banyak yang tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda. Selain itu, desain kursi roda yang mereka miliki sering tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga tidak mendukung aktivitas secara maksimal.
Seperti saran Susan dan koleganya, saya juga mengajak orang lain memahami pentingnya kursi roda sebagai alat bantu. Bukan hanya untuk ketika tubuh sudah tidak mampu berjalan. Kursi roda akan membuat perjalanan atau di keramaian lebih aman dan nyaman..
Saya ingin lebih banyak orang berkursi roda yang menggunakan fasilitas umum. Ini akan membuat masyarakat lebih familiar dengan kami, dan ikut mendukung pembangunan fasilitas publik yang aksesibel. Saya percaya bahwa masyarakat Indonesia kreatif dan dengan pemahaman yang lebih baik, mereka bisa berkarya dan berbuat lebih banyak untuk lingkungan yang inklusif.
Beralih pada kursi roda listrik
Saya biasanya mengayuh Pinky di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, bandara dan rumah sakit. Namun, tidak mudah bagi saya untuk tetap mengayuh di semua tempat. Memiliki tangan yang pendek dan lemah membuat saya lebih mudah lelah. Di bangunan yang tidak aksesibel, seperti tanjakan yang curam, membuat sulit mengayuh kursi roda.
Pada perjalanan lain ke luar negeri, saya bertemu dengan kursi roda lain. Dua tahun yang lalu saya mengikuti program pelatihan selama tiga minggu di Sydney, Australia. Panitia menyediakan kursi roda elektrik yang disewa selama berkegiatan di sana. Meskipun tidak sesuai dengan ukuran tubuh saya, kursi roda ini sangat membantu. Selama tiga hari saya belajar mengoperasikannya. Suami dari seorang profesor yang melatih saya mengendarai sampai lancar dan menemani saya menggunakan bus aksesibel ke pusat perbelanjaan.
Itu adalah salah satu dari sedikit pengalaman saya naik bus. Di Indonesia, bus umum sering tidak aksesibel, sehingga saya sangat jarang menggunakannya. Mengendarai kursi roda untuk naik bus dan parkir dengan aman di tempat yang disediakan merupakan sebuah momen menegangkan bagi saya.
Pengemudi ugal-ugalan
Saya adalah pengemudi kursi roda yang baik sekaligus juga ugal-ugalan. Saya bisa melajukan kursi roda dengan baik di keramaian tanpa menabrak orang. Namun, saya suka sensasi cepat. Saya sering mengatur kursi roda saya dalam setelan cepat. Saya patut diselamati untuk ini – beberapa rekan saya mengatakan kalau kaki tertabrak kursi roda elektik itu sangat menyakitkan.
Saya juga seorang pengemudi yang kadang ugal-ugalan. Saya suka sekali ngebut, sehingga selalu mengendarai kursi roda pada kecepatan maksimal. Kadang saya tidak peduli jika jatuh, menabrak atau menyerempet benda seperti pintu bus, dinding lift, papan pengumuman, atau tempat sampah selama saya menjadi satu-satunya orang yang menjadi menanggung akibatnya. Saya menikmati sensasi itu.
Terbang bebas seperti burung
Di Sydney, memakai kursi roda listrik adalah sebuah pengalaman menyenangkan. Setiap hari saya berkursi menempuh jarak tiga kilometer untuk pulang-pergi ke kampus.Setiap sore, saya berkesempatan menjelajahi kota. Musim panas dan kota yang aksesibel merupakan hal yang tidak saya temui di Indonesia.
Selama tiga minggu berada di Sydney saya menjelajah lebih banyak dibanding selama hidup di Indonesia. Saya bisa bepergian kemanapun dengan mudah menggunakan sarana transportasi umum. Bus memiliki dek yang rendah, ramp atau tanjakan dan tempat untuk kursi roda sehingga saya bisa naik dan turun dengan nyaman. Saya juga bisa pergi berbelanja sendiri ke pasar atau pergi ke tempat-tempat lain. Saya merasa memiliki kebebasan penuh, bebas seperti burung yang terbang lepas.
Namun, salah seorang rekan mengeluh karena tidak bisa berjalan menyamai kecepatan saya. Hal tersebut, mengingatkan saya untuk lebih berempati. Biasanya saya menjadi orang yang tertinggal karena berjalan lambat. Ketika berkesempatan untuk bisa lebih cepat dari orang lain, saya juga perlu mengurangi kecepatan untuk menyesuaikan dengan orang lain.
Hal ini menyadarkan saya bahwa terkadang orang tidak sengaja melupakan kebutuhan orang lain karena kurang memahami. Hal tersebut memberikan saya wawasan baru untuk a meningkatkan kesadaran pada isu Disabilitas.
Perpisahan dengan Pinky
Pinky sudah menemani saya selama 14 tahun. Kami sudah menjalani banyak perjalanan dan penerbangan yang tidak terhitung banyaknya. Bersamanya, saya menjelajah Bersama ke delapan negara. Sebagai pengemudi yang ugal-ugalan saya mencopot ban pengaman di belakang yang menyebabkan kerapkali terjengkang ketika menaiki ramp curam.
Tahun lalu saya harus mengucapkan selamat tinggal pada sahabat tersayang. Saya memerlukan kursi roda elektrik untuk mengurangi beban pada kedua lengan mungil saya. Dengan sedih saya melepaskan Pinky.
Saat ini kursi roda pink itu dimiliki oleh seorang anak berusia delapan tahun bernama Andi. Dia seorang pelajar SD sekitar 30 kilometer dari rumah saya. Sebelumnya, orang tua Andi menggendongnya untuk pergi ke sekolah. Senyum bahagia di wajah Andi ketika pertama kali mengendarai Pinky adalah kenangan indah, yang membuat saya rela berpisah darinya.
Meskipun, warna pink sering kali diasosiasikan dengan perempuan, Andi bahagia memiliki kursi roda. Saya bahagia melepas sahabat terbaik saya nemulai perjalanan baru, menjadi teman Andi menjalani kehidupannya dengan gembira.
Selamat datang Mr Grey
Setelah menabung beberapa bulan, saya mampu membeli sebuah kursi roda elistrik baru. Kini, sahabat baru saya itu bernama Mr Grey. Entah mengapa, saya merasa kursi roda baru ini seperti “berjiwa” laki-laki. Seperti sosok laki-laki paruh baya beruban yang bijaksana. Kami berdua telah melalui tujuh penerbangan, satu perjalanan naik kereta, dan satu penerbangan internasional.
Saya suka mengendarai Mr Grey ke sawah di dekat rumah. Butuh perjalanan beberapa menit ke sana melalui jalan naik turun dan terjal berbatu. Sebelumnya dengan kursi roda manual, saya tidak bisa ke sana sendirian. Biasanya, saya bersama sahabat dan keponakan. Beberapa anak di desa sering mengikuti perjalanan kami, mereka suka melihat saya dan Mr Grey berjibaku melalui jalanan terjal.
Meskipun hanya bisa sampai pada jalan utama ke sawah, saya suka menikmati matahari tenggelam di sore hari. Tampak dua gunung – Merapi dan Merbabu – dan matahari tenggelam di antaranya persis seperti lukisan saat masih kanak-kanak. Di momen itu, saya bersyukur kepada Allah atas hari yang indah.
Salam dari saya dan Mr Grey yang sedang berada di tengah sawah
Ida
Penutup
Untuk bacaan lebih lanjut. Baca esai Debrief sebelumnya karya Ida, Bigger than the Machine.Untuk tahu lebih banyak tentang perjalanan menggunakan kursi roda, baca Finding my Fairy-Tale oleh Tanzila Khan. Perpustakaan Debrief memiliki kumpulan berita disabilitas dari Indonesia.
Temukan karya mereka:
Ida: LinkedIn
Kinanty: Linkedln
Brita: Linkedln
Bantu Kami Berkembang. Sebarkan ke teman-teman Anda. Berbagi newsletter ini adalah cara orang menemukannya!
Terhubung. Hubungi kami, dan temukan Disability Debrief di LinkedIn.
Bantu kami melakukan lebih banyak. Berikan kontribusi satu kali atau rutin ke Debrief.
Ucapan terima kasih
Saya ingin mengirimkan apresiasi pada Peter Fremlin, editor, yang telah membersamai sebagai rekan diskusi yang menyenangkan.
Terima kasih pada Kinanti Andini untuk ilustrasi indahnya. Terima kasih untuk Brita Utami untuk alih bahasa ke Bahasa Indonesia. Susan dan staf MIUSA yang memberikan kesempatan saya memiliki Pinky. Prof. Michelle, Pak Moel dan tim AAI SC 2023 untuk pengalaman menyenangkan Bersama kursi roda elektrik pertama saya.
Terima kasih pada pembaca dan organisasi yang telah mendukung the Debrief.
Terima kasih khusus saya berikan pada Mbak Astuti Parengkuh yang telah membantu memegangi Pinky selama kita naik becak. Dan terakhir saya mengirimkan pelukan erat pada keluarga yang selalu mendukung saya dalam menaklukkan dunia.